JAKARTA-Upaya Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) membuka jalur komunikasi antara Ukraina, Rusia, serta kelompok negara-negara G7 dinilai bisa menjadi uji kasus sebelum menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN di tahun 2023.
Selain itu, menjadi tuan rumah
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada bulan November mendatang,
dinilai dapat menjadi platform tepat untuk menunjukkan peran Indonesia kepada
dunia.
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke
Eropa membawa setidaknya tiga misi utama. Yaitu, mengajak negara-negara anggota
G7 mengakselerasi perdamaian di Ukraina serta mencari solusi secepatnya dalam
mengatasi krisis pangan dan energi yang melanda dunia.
Kedua, mengajak Presiden Ukraina
Volodymyr Zelenskyy untuk membuka komunikasi dengan Rusia agar perang segera
berhenti dan mengaktifkan kembali rantai pasokan makanan. Terakhir, mempersuasi
Presiden Rusia Vladimir Putin untuk berdialog dengan Ukraina dan untuk segera
melakukan gencatan senjata, serta menghentikan perang.
Jaga stabilitas kawasan ASEAN
Waffa Kharisma, peneliti hubungan
internasional lembaga think tank Centre for Strategic and International Studies
(CSIS) memaparkan, lawatan tersebut menjadi momentum yang tepat bagi kepentingan
Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20. Apalagi Indonesia akan menjadi ketua
ASEAN pada tahun 2023.
"ASEAN tumbuh dengan narasi
yang sama dengan misi ke Eropa," terang Waffa dalam media briefing CSIS
bertajuk Memaknai Lawatan Presiden Joko Widodo ke Eropa, Rabu (01/07).
Ia menambahkan, Indonesia harus
berorientasi pada pembangunan agar negara di luar ASEAN tidak memandang kawasan
Asia Tenggara hanya sebagai ajang perebutan pengaruh dan militer.
Menurutnya, di Asia Tenggara juga
banyak isu yang saat ini belum terlihat dampaknya tapi berpotensi membawa
disrupsi seperti perang Rusia - Ukraina. "Krisis Myanmar, stabilitas di
Laut Cina Selatan. Perlu mendapat perhatian Indonesia supaya (dapat) mencegah
ketidakpercayaan dan peningkatan eskalasi," tutur Waffa.
Dalam posisinya sebagai pemimpin
ASEAN nanti, Indonesia diprediksi membawa agenda pemulihan ekonomi serta
percepatan pembangunan. Oleh karena itu perlu menciptakan kawasan yang stabil
dan damai agar agenda tersebut dapat tercapai.
Waffa menjelaskan bahwa Indonesia
memiliki posisi yang terbaik dalam hal netralitas. Indonesia memiliki rekam
jejak masa lalu yang cukup baik sebagai aktivis perdamaian, meskipun punya daya
tawar terbatas.
Krisis pangan dan energi masih jadi
tantangan utama
Laporan Program Pangan Dunia (WFP)
yang dirilis pada Juni 2022 mengatakan sekitar 345 juta penduduk dunia
menghadapi kerawanan pangan akut. Penyebabnya ditengarai antara lain lumpuhnya
ekspor pupuk dan gandum dari Rusia dan Ukraina.
Peneliti ekonomi CSIS Dandy
Rafitrandi mengatakan, kunjungan Jokowi sebagai upaya meningkatkan komunikasi
antara negara-negara G7, Rusia, dan Ukraina. Terutama untuk menyelesaikan
masalah pasokan makanan dan pupuk.
"Kita harus fokus bagaimana
jaminan dari Presiden Putin untuk menjamin rantai pasokan pangan dan
pupuk," tutur Dandy. Agenda jangka pendek adalah mengamankan pasokan
makanan dan pupuk. Semua negara anggota G20 harus terlibat sebab bisa saja
tahun depan terjadi kelangkaan pangan, kata Dandy.
Kendati demikian, Dandy
mewanti-wanti bahwa rantai pasokan pangan dan pupuk kemungkinan tidak bisa
langsung kembali stabil dan normal usai KTT G20. Hal itu kembali lagi
tergantung rencana tindak lanjut usai pertemuan KTT G20 di Pulau Dewata. Ada
beberapa tantangan yang akan akan muncul tahun depan menurut beberapa laporan.
"Krisis pangan, energi, dan
inflasi masih jadi tantangan utama masyarakat dunia," kata Dandy sambil
melanjutkan bahwa krisis pangan, pupuk, dan energi tidak hanya berdampak pada
negara-negara anggota G20.
"Yang paling terdampak adalah
negara-negara berkembang yang masih berjuang dengan COVID. Mereka butuh akses
vaksin. Berjuang menghadapi inflasi," ujar Dandy.
Sumber daya terbatas
Peneliti hubungan internasional CSIS
Andrew Mantong menjelaskan, Indonesia telah beberapa kali berperan aktif sebagai
perdamaian dalam konflik antarnegara dan dalam krisis politik di suatu negara.
"Pada pertengahan dekade
1990-an, Presiden Soehato melakukan kunjungan ke Sarajevo di tengah bergolaknya
konflik di Eropa saat Serbia melancarkan serangan militer terhadap penduduk
Bosnia," kata Andrew.
"Apa yang dilakukan Presiden
Jokowi saat kunjungan ke Ukraina dan Rusia, adalah upaya membuka komunikasi
agar ada negosiasi di kedua belah pihak", kata Andrew. Indonesia
membutuhkan kepercayaan dari kedua negara kawasan Eropa Timur tersebut.
Kemampuan persuasi atau meyakinkan menjadi tantangan lebih lanjut bagi Jokowi.
Tentunya, menghadapi Putin adalah
tantangan tersendiri bagi Jokowi. Sosok Putin menjadi elemen penting agar jalur
negosiasi bisa terbuka demi menghentikan perang.
"(Indonesia) harus jeli
mencanangkan aksi menjadi mediator dan fasilitator yang efektif," jelas
Andrew.
Andrew juga menyoroti keterbatasan
yang dimiliki Indonesia saat ingin mengerahkan sumber dayanya untuk membuka
jalur komunikasi Ukraina dengan Rusia.
"Masa jabatan presiden tersisa
dua tahun lagi, menjadi ketua ASEAN 2023, dan pemilu di 2024. Ini akan
membatasi peran Indonesia sebagai juru damai," papar Andrew.
0 Komentar