10 Point Raport Merah Saat Jadi Gubernur DKI Jakarta Ini Jadi Rekam Jejak Buruk Anies Memimpin

  


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyampaikan 10 poin yang berisi Rport Merah Anies Baswedan. Dalam pernyataan resmi di laman LBH Jakarta, bantuanhukum.or.id; jika LBH telah menelusuri fakta yang berangkat dari kondisi faktual Warga DKI Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan di DKI Jakarta.

Pertama , buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta (BMUA DKI Jakarta) sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta.

Hal ini disebabkan oleh abainya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan.

Kedua , sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air. Masalah ini terutama dapat ditemukan di pinggiran-pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu di Ibukota.

Selain aksesnya yang sulit, kualitas udara di DKI Jakarta semakin buruk, pasokan udara yang terhambat akibat kecilnya daya jangkau udara, kualitas udara yang buruk, dan memburuknya kualitas udara tersebut tentu saja akan berdampak pada udara yang tidak layak digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat .

Ketiga , penanganan banjir yang belum mengakar pada beberapa penyebab banjir. Banjir Jakarta sebenarnya bukan hanya satu jenis banjir saja, namun terdapat tipe banjir hujan lokal; banjir kiriman hulu; banjir rob; banjir akibat gagal infrastruktur; dan banjir kombinasi.

Beberapa tipe banjir Jakarta tersebut disikapi Pemprov DKI masih merupakan banjir luapan sungai, sehingga fokus penanganan pada aliran di wilayah Jakarta yaitu menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir di wilayah DKI Jakarta dan masih cenderung pada pengerasan (betonisasi).

Pada beberapa Peraturan Kepala Daerah pun masih ditemukan potensi penggusuran dengan adanya pengadaan tanah di sekitar aliran sungai.

Keempat , penataan kampung kota yang belum partisipatif. Community Action Plan (CAP) merupakan rencana aksi penataan Kampung Kota dengan pendekatan partisipasi Warga. Rencana aksi ini merupakan salah satu dari 23 janji kampanye Anies Baswedan saat menjadi kontestan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam.

Salah satu contoh penerapan penerapan Kampung Kota dengan menggunakan pendekatan CAP adalah Kampung Akuarium, namun dalam penerapannya tidak sepenuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium.

Kelima , ketidak seriusan Pemprov DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum. Hal ini dapat dilihat dengan aturan mengenai bantuan hukum pada tingkat Peraturan Daerah di DKI Jakarta. Kekosongan menghasilkan berbagai dampak seperti manfaat dari Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan memperoleh akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum.

Keenam , sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta. Tempat tinggal sebagai hak dan kebutuhan dasar setiap manusia seperti tidak berlaku di Jakarta. Pada awal masa kepemimpinannya, Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan rumah uang muka atau DP 0% yang ditargetkan untuk dibangun sebanyak 232.214 unit, kemudian dipangkas secara tajam sehingga ditargetkan hanya membangun 10 ribu unit.

Penyelenggaraan rumah pada awalnya diperuntukan kepada warga, menjadi strata pendapat 4-7 juta kemudian diubah strata pendapatan 14 juta. Perubahan kebijakan yang cukup signifikan telah menunjukkan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye.

Ketujuh , belum ada intervensi yang signifikan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, namun wilayah pesisir dan pulau kecil merupakan wilayah dengan karakteristik dan kerentanan yang jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain .

Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.

Alih alih menetapkan kebijakan yang menempatkan warga pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai aktor, draft Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov DKI justru menunjukkan kemungkinan yang mungkin mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.

Kedelapan , penanganan pandemi yang masih setengah hati. Sebagaimana diketahui, wilayah DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19. Untuk itu diperlukan bentuk penanganan yang tepat guna dan tepat sasaran. Sayangnya capaian 3T Pemprov DKI justru masih rendah di masa krisis. Pelaksanaan untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan penyelewengan vaksin booster untuk pihak yang tidak berhak.

Pemprov DKI Jakarta juga cenderung melakukan pelonggaran yang terlalu dini dengan pembukaan pada Agustus 2021 yang memungkinkan memungkinkan anak di bawah 12 tahun hingga pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTMT) yang dilakukan-buru tanpa selesainya vaksinasi dan tingkat kepositifan Jakarta masih di atas 5%.

Hal ini diperburuk dengan buruknya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti. Dalam situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI tidak memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat untuk pertumbuhan ekonomi.

Kesembilan , penggusuran paksa masih warga Jakarta. Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM. Peraturan Gubernur DKI Nomor 207 Tahun 2016 Tentang Penertiban Penggunaan/Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak merupakan salah satu ketentuan yang digunakan oleh Pemprov DKI untuk melakukan penggusuran dengan dalih memberikan kepastian hukum pelaksanaan penertiban terhadap pemakaian tanah tanpa izin yang berhak.

Pergub yang ditetapkan pada masa Gubernur Basuki T. Purnama tersebut dipertahankan dan digunakan hingga saat ini oleh Pemprov DKI Jakarta dalam beberapa kasus penggusuran paksa yang menimpa warga Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.

Kesepuluh, reklamasi yang masih terus berlanjut. Ketidakkonsistenan mengenai penghentian reklamasi dimulai ketika pada 2018 Anies menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Pergub DKI 58/2018) yang akan menjadi reklamasi berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai “perusahaan mitra”.

 


Posting Komentar

0 Komentar