TPDI CURIGA MK MASIH JADI KEPANJANGAN TANGAN ISTANA

  


Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara Petrus Selestinus menganggap para hakim konstitusi masih terbawa suasana traumatik soal conflict of interest yang menggiring Anwar Usman kehilangan kursi Ketua MK.

Menurut Petrus, pasca putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, tentang uji materiil Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hakim-hakim konstitusi belum juga move on.

Bahkan hakim konstitusi yang progresif sekelas Saldi Isra dan Suhartoyo nampak kehilangan taring, karena dalam pertimbangan hukum putusan 141/PUU-XXI/2023, tidak nampak pandangan yang progresif.

“Ada nuansa hakim-hakim konstitusi kompak satu suara ingin mengamankan kekuatan final dan mengikat Putusan Perkara No.90/PUU-XXI/2023,” kata Petrus Selestinus dalam keterangannya pada Sabtu, 2 Desember 2023.

Ini terlihat dalam Putusan MK No.141/PUU-XXI/2023, tgl 23/11/2023, dan tidak berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU No.48 Tahun 2009. Dianggap dalil yang kontraproduktif yang melampaui batas wewenang hakim.

“Bagi Hakim Konstitusi yang adalah negarawan, pertimbangan hukum yang menegaskan berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7), UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, jelas merupakan upaya pragmatis memenuhi hasrat politik kekuasaan dengan mengenyampingkan asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, yang berlaku bagi semua hakim tanpa kecuali,” katanya lagi.

Kekebalan Semu Hakim Konstitusi

Menurut Petrus, Hakim MK sudah keluar dari prinsip kebebasan hakim bahkan bertindak sewenang-wenang karena menyatakan ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim konstitusi. Hal ini demi mengamankan putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023.

Hakim konstitusi dianggap bisa sewenang-wenang mengeluarkan pertimbangan hukum, sebagaimana dapat dibaca dalam putusan MK No. 141/PUU-XXI/ 2023, tgl. 23/11/ 2023, yaitu memberikan imunitas semu bagi hakim konstitusi untuk tidak dipidana manakala terbukti melakukan tindak pidana terkait dengan perkara yang sedang diadili termasuk jika berada dalam lingkaran conflict of interest.

Hal lain yang aneh adalah pertimbangan hukum putusan No. 141/PUU-XXI/2023, bahwa MK tidak mungkin menerapkan Pasal 17 ayat (7) UU No.48 Tahun 2009, karena ketentuan pasal 45 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (3) PMK No. 2 tahun 2021, yang mewajibkan majelis hakim bersidang dengan komposisi 9 atau sekurang-kurangnya 7 hakim konstitusi.

“Pandangan bahwa Hakim MK bersidang dengan sekurang-kurangnya 7 Hakim, sebetulnya MK telah mengantisipasi kemungkinan ada hakim konstitusi yang harus mundur dari perkara yang sedang disidangkan manakala ia berkepentingan atau memiliki conflict of interest, sehingga cukup dengan mengundurkan diri dari persidangan, maka persidangan bisa dilakukan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 orang hakim konstitusi,” ujar Petrus.

Keanehan Pertimbangan Hukum

Petrus Selestinus berpandangan Peraturan MK No.2 Tahun 2021 harus dipandang sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan hakim MK, sewaktu-waktu berada dalam posisi memiliki conflict of interest sebagaimana dialami Anwar Usman dalam perkara No.90/PUU-XXI/2023.

Artinya jika saja saat itu Anwar Usman mundur dari persidangan perkara No.90/PUU-XXI/2023, maka MK tidak mungkin menghadapi skandal politik yang mengguncang kancah perpolitikan yang berkepanjangan hingga saat ini, karena hakim MK bisa bersidang dengan 7 atau 8 hakim konstitusi, agar hakim MK terbebas dari ancaman Pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No.48 Tahun 2009.

Karena itu pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No.48 Tahun 2009, tidak dapat diterapkan pada hakim konstitusi, atas alasan tidak adanya majelis hakim pengganti, sementara ketentuan UU MK sendiri membuka pintu jalan keluar dengan persidangan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 hakim.

Begitu pula dengan pernyataan hakim konstitusi dalam putusan No.141/PUU-XXI/2023, bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU No.48 Tahun 2009 tidak berlaku bagi hakim konstitusi terutama sanksi putusan tidak sah, sanksi administratif dan sanksi pidana.

Kemudian menjadi pertanyaan kenapa Anwar Usman dijatuhi sanksi administratif, jawabannya karena Anwar Usman melanggar larangan Pasal 17 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 jo. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Dengan demikian meniadakan berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No.48 Tahum 2009 pada Hakim Konstitusi, hal itu harus dengan UU bukan dengan tafsir UU oleh MK.

Kemudian ketentuan Pasal 73 UU HAM bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam UU hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, karena itu tidak diterapkan ketentuan Pasal 17 ayat 6 UU No.48 Tahun 2009 pada hakim komstitusi tidak boleh berdasarkan tafsir hakim melainkan hanya boleh dengan UU*

Posting Komentar

0 Komentar