GIBRAN, PRODUK INSTANT DEMOKRASI YANG DIGORENG DADAKAN

  


Buah yang dipaksakan matang sebelum waktunya akan menghasilkan penampakan menarik kulit luarnya, namun isinya tidak semanis yang diimajinasikan. Ibarat buah pisang yang dikarbit, warna kulit luarnya kuning merata indah dipandang, tetapi manis buah yang dihasilkan berasa campuran beberapa rasa.

Gibran menjadi produk settingan instant dalam proses demokrasi terkait kepemimpinan. Berawal dari Walikota Solo hasil polesan tim sukses didukung kekuatan besar, menjadikan dirinya satu-satunya kepala daerah yang menang pemilihan langsung dengan perolehan suara 86,5%. Secara konstitusi sah dan warga Solo penggila putra sulung Presiden Joko Widodo berharap besar kiprah Gibran membangun kotanya.

Apa yang kemudian terjadi? Tahta Gibran di kota Solo hanya berlangsung singkat selama 2 tahun dengan berbagai kebijakan yang belum selesai dan lambat laun menjurus mangkrak. Gibran memilih tahta lebih tinggi lagi di tingkat nasional dengan menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Proses instant dalam dimensi berbeda terjadi lagi. Undang-undang yang belum mempersyaratkan usia Gibran direkayasa oleh MK, menjadi skandal konstitusi terbesar kedua dalam sejarah Republik ini setelah Supersemar.

Tidak berhenti sampai di titik itu. Proses meningkatkan kapasitas kecerdasan dan emosional sosok Gibran yang kabarnya hanya lulusan setingkat kursus di luar negeri, untuk menjadi cawapres yang dikelilingi politikus dan ketum-ketum Parpol dilakukan dengan berbagai cara.

Dalam berbagai moment kampanye, sosialisasi hingga orasi, publik sudah menakar kapasitas sesungguhnya seorang cawapres Gibran hanya di level 4 dalam hitungan 1 sampai 10. Dalam moment debat cawapres Jum’at 22 Desember lalu, publik seolah melihat kapasitas Gibran yang berbeda 180 derajat dari yang selama ini disaksikan.

Gibran yang sebelumnya berpura-pura atau dalam debat cawapres justru sedang berpura-pura? Artinya mana sosok Gibran yang asli, jawabannya nyaris tidak ada karena semua dilalui dengan proses instant. Bahasa orasi paparannya hasil bacaan teks arahan pelatih debat. Jawaban atas pertanyaan paslon lain dipenuhi egosentris, Gibran dicetak dengan standar Machiavellianism.

Argumentasi Gibran yang menjurus “nakal” dan sedikit “tengil” oleh pendukungnya menjadi kenormalan bagi ukuran Milenial yang menginginkan sesuatu yang beda. Tepuk tangan dan kebanggaan berhamburan di gerbong belakang pendukungnya. “Benar atau salah, yang penting cawapresku tampil beda. Yang dikira cupu ternyata suhu. Calon pemimpin milenial lahir mengalahkan para seniornya”. Itulah beberapa kalimat euforia yang bertebaran di status medsos dan koment memuji Gibran.

Namun fakta publik diluar eforia pendukung Gibran menyatakan hal sebaliknya. Kompas TV menyampaikan fakta Sentimen Positif pasca debat justru didapat Mahfud MD (59%) menyusul Gibran (44%) dan Cak Imin (31%). Adapun fakta sentiment Negatif tertinggi didapat Cak IMin (36%) Gibran (33%) dan Mahfud (22%). Catatan presentase ini berdasarkan survey tiap paslon, bukan antara ketiga paslon

Sementara salah satu platform analisa digital Drone Emprit juga menampilkan sentiment negatif atas gaya “ketengilan” debat Gibran di mata publik sebesar 71%.

Kembali ke persoalan produk instant. Fakta publik menunjukkan Gibran gagal disetting sebagai sosok juara dalam debat cawapres. Yang terjadi justru sebaliknya, tampil berpura-pura cerdas itu resikonya fatal ketika publik paham tendesi ambisius seorang Gibran. Dari penjual martabak yang tiba-tiba meroket menuju Istana Negara (jualan martabak juga?)

Itu juga kesalahan pelatih sekaligus mentor debat Gibran. Tidak salah kalau Prabowo terlihat menarik kasar jaket Bahlil. “Besok jangan kamu lagi jadi coach anak itu, bikin malu saja” kata Gemoy sambil senyum senyum sadis.

Posting Komentar

0 Komentar