Habis Manis, Sepah Dibuang

  


Oleh: M. Haikal Sulaiman.

“Maaf Bang,” Kata Kiki Syahputri sembari mengelus pundak Panji Pragiwaksono, komika senior yang jadi tamu di acara _Lapor Pak!_.

“Pantas keras, soalnya cuma jadi batu loncatan,” lanjut Kiki.

Panji tersenyum kecut. Sepertinya sudah menduga bakal digodain soal merenggangnya hubungan dia dengan Anies Baswedan,  justru setelah Anies terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta pada 2017 silam.

Ketika Kiki menyebut soal batu loncatan, ingatan saya justru ke Prabowo Subianto.

Di mata yang mengenalnya, Prabowo adalah figur yang sukar ditebak, kalau tak mau disebut complicated. Ini sudah dimulai ketika dia secara tiba-tiba memutuskan menikah dengan Titiek Soeharto.  Meski mendapat penentangan di lingkungan terdekat, Prabowo begeming.

Tatkala hubungan bapaknya (Soemitro Djojohadikusumo) dengan Soeharto merenggang, Prabowo dengan piawai memainkan peran sebagai mantu yang baik. Dia berhasil membuat Soeharto percaya bahwa loyalitas dia lebih ke Soeharto ketimbang bapaknya sendiri.

Berkat dukungan Soeharto, Prabowo leluasa membangun “ABRI” di dalam ABRI (Di era Orde Baru, TNI bernama ABRI, polisi termasuk di dalamnya selain tiga mantra angkatan). Setiap Panglima ABRI saat itu paham betul bahwa Prabowo jadi duri dalam daging bagi profesionalitas ABRI. Tapi, mereka tak berani besikap tegas meski Prabowo kerap melanggar jalur komando.

Selain bersandar pada Soeharto, Prabowo secara intens menggarap kelompok Islam politik yang saat itu relatif dicurigai Soeharto. Fun Fact-nya, Prabowo sama sekali tidak mengerti atau menyukai Islam sebagai agama ataupun ideologi.

Tapi, dia paham, kekuatan Islam politik ini punya potensi besar. Ia berkaca dari pengalaman Bapaknya yang notabene salah satu tokoh penting Partai Sosialis Indonesia yang ikutan melakukan pemberontakan PRRI pada 1957 sd 1960 bersama sejumlah tokoh Masyumi.

Ia berhasil meyakinkan Soeharto bahwa kelompok Islam politik ini dapat menjadi pilar baru untuk menyangga kekuasaan politiknya. Terutama dari gangguan TNI “merah putih” yang mulai gerah dengan sepak terjang Soeharto sekeluarga ber-KKN- ria.

Tapi, Soeharto kecele. Di saat-saat kekuasaannya goyah pada 1998, Prabowo justru mengkhianatinya. Untungnya saat itu masih ada Wiranto. Jika tidak, nasib Soeharto mungkin akan mirip dengan mantan diktatur Rumania, Nicolae Ceausescu.

Pada saat Soeharto jatuh, Prabowo melakukan manuver mendukung Habibie secepatnya dilantik menjadi Presiden. Belakangan, terungkap Prabowo rupanya sudah menyiapkan rencana berikutnya: mengkudeta Habibie.  Tapi, malang bagi dia, rencana tersebut bocor. Belakangan kepada media Prabowo berdalih, itu sekadar niat tapi ia diurungkan, sekaligus disesali karena tak dilakukan.

Prabowo tak berhenti mencari jalan ke panggung kekuasaan. Setelah upaya memenangkan konvensi Golkar kandas, ia kemudian mendirikan partai sendiri: Gerindra. Sejak awal berdiri, Prabowo dan partainya gencar memainkan isu-isu populis, meski secara personal Prabowo lebih dekat dengan neolibiralisme klasik.

Tapi, Prabowo paham, itu saja tak cukup. Karena itu, sekali lagi, dia mencari sasaran tumpuan baru. Kali ini incarannya adalah kelompok nasionalis. Kebetulan, Megawati sedang mencari cawapres. Prabowo menyediakan diri untuk sekadar jadi cawapres meski ambisinya jadi RI 1. Prabowo mengabaikan fakta bahwa bapaknya pernah jadi buronan di era bapaknya Megawati jadi Presiden.

Pada Pilpres 2014, Prabowo harus berhadapan dengan Jokowi yang diusung PDI-Perjuangan. Prabowo mafhum. Kekuatan nasionalis hanya bisa diimbangi oleh kelompok Islam politik dan loyalis orba. Kembali kepiawaiannya terlihat: kedua kelompok itu berhasil diinsinuasinya. Sentimen agama dimainkan. Inilah bibit awal polarisasi Indonesia hingga sekarang. Dia tak peduli masyarakat terbelah, keutuhan bangsa terancam. Dia hanya peduli bagaimana bisa jadi presiden!

Pada 2019, Prabowo dalam kondisi yang lebih sulit. Secara elektoral tidak menjanjikan, secara sumber daya terbatas. Sekali lagi, dia berhasil menginsinuasi kekuatan kelompok-kelompok milisi berjubah agama (seperti FPI, Al Zaitun) maupun kelompok Islam trans-nasional (yang terlihat di permukaan HTI dan Ikhwanul Muslimin). Sebagian besar kampanye akar rumput Prabowo dilakukan kelompok-kelompok ini. Harganya sangat mahal bagi Indonesia: polarisasi mengkristal, keguyuban bermasyarakat terkoyak.

Ketika akhirnya kalah, Prabowo secara lihai memanfaatkan amarah para pemilihnya. Operasi politik diarahkan agar terjadi amuk massa. Situasi ini membuat bursa saham dan pasar uang rontok. Yang terakhir inilah yang sesungguhnya menjadi target operasi dari amuk massa tersebut.

Pasalnya, adiknya, Hasyim Djoyohadikusumo, sudah menyiapkan skema untuk menggeruk cuan dari pasar saham dan pasar uang yang goncang tersebut. Prabowo tahu, dia sudah kalah, tapi dia setidaknya modal kampanyenya kembali dengan cara mengeksploitasi emosi para pendukungnya.

Dua kali kekalahan, mendorong Prabowo melakukan shift strategy. Dia mafhum, harus menambah kekuatan agar bisa meraih impiannya sebagai presiden. Karena itulah, dia menawarkan diri bergabung dengan pemerintahan Jokowi.

Aksi politik ini bukan tanpa perhitungan. Dia tahu sebagian pendukungnya bakal marah dan beralih ke figur lain. Yang tak banyak orang tahu, Prabowo secara jeli telah memetakan, yang bakal meninggalkan dirinya adalah pemilih Islam yang lebih terafiliasi pada PKS dan HTI. Sementara, basis pemilihnya di segmen Islam lainnya tak akan berpaling.

Menjadi pembantu Jokowi di Kabinet Indonesia Maju terlihat seperti merendahkan diri sendiri. Tapi, Prabowo punya perhitungan berbeda. Dengan menjadi menteri, ia punya akses sumber daya. Dari mulai proyek pemerintah, perdagangan senjata hingga jatah komisaris di BUMN yang bisa didistribusikan ke kalangan pendukungnya. 

Dengan menjadi menteri, Prabowo punya ruang untuk membangun kepercayaan Jokowi pada dirinya. Sekaligus menetralisir citra dirinya yang dianggap pro kelompok Islamis radikal atau trans-nasional. Ia juga lebih leluasa menggocek kubu AS dan China.

Harus diakui, Prabowo punya kemampuan unik, kemampuan untuk melecehkan harga dirinya sendiri. Di berbagai kesempatan, Prabowo memamerkan kepribadiannya sebagai sosok anak buah yang baik, loyalis yang bisa diandalkan.

Pada saat yang bersamaan dan perlahan, tim bayangan Prabowo mulai menginsinuasi cerita soal keretakan hubungan Jokowi dengan Megawati. Narasinya khas: membangun sentimen anti PDI Perjuangan dengan alasan partai ini telah melecehkan Jokowi secara politik.

Inilah cara Prabowo menggiring pemilih Jokowi agar berpaling mendukung dirinya, bukan mendukung siapapun capres yang diusung PDI Perjuangan.  Sekali pukul, PDI Perjuangan dan Jokowi yang kena.

Tak berlebihan jika ada yang menyebut Prabowo adalah machiavelian sejati. Tak ada kesetiaan pada keluarga, ideologi, agama apalagi pada sesama politisi. Dia hanya setia pada ambisinya sendiri, meski untuk itu, kemashalatan rakyat dan bangsa Indonesia yang jadi taruhannya.

Ia dengan santainya mengkhianati Soeharto, mertuanya sendiri. Ia akan dengan gampang menelikung Jokowi pada saat yang tepat.

 

Posting Komentar

0 Komentar